Minggu, 20 Maret 2011

KATA BIJAK

“Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”

TANBIH


Tanbih ini dari Syaekhuna Almarhum SYEKH ABDULLAH MUBAROK B. NUR MUHAMMAD yang bersemayam di Patapan Suryalaya Kejembaran Rahmaniyah.

Sabda beliau, kepada khususnya segenap murid-murid, pria maupun wanita, tua maupun muda: Semoga ada dalam kebahagiaan, dikarunia Allah Subhanahu Wata'ala kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita sekalian. Pun pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaan dan keagungannya supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur, dhohir maupun bathin.

 
TAAT AGAMA DAN NEGARA

 

Pun kami tempat orang bertanya tentang THARIQAH QOODIRIYYAH NAQSYABANDIYYAH, menghaturkan dengan tulus ikhlas, wasiat kepada segenap murid-murid: berhati-hatilah dalam segala hal, jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan Peraturan AGAMA maupun NEGARA. Taatilah kedua-duanya tadi sepantasnya, demikianlah sikap manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadhirat Ilahi Robbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA maupun NEGARA.

Insafilah hei murid-murid sekalian, janganlah terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan syaitan. Waspadalah akan jalan penyelewengan terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA, agar dapat meneliti diri, kalau-kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita semua. Lebih baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian:


TERHADAP YANG TINGGI DARI KITA

Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita, baik dhohir maupun bathin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun, saling harga menghargai;
TERHADAP YANG SAMA DENGAN KITA
Terhadap sesama sederajat dengan kita dalam segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati, bergotong-royong dalam melaksanakan perintah AGAMA maupun NEGARA, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya "ADZABUN ALIM", yang bererti duka-nestapa untuk selama-lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT (badan payah, hati susah);
TERHADAP YANG RENDAH DARI KITA
Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah hendak menghinanya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar, bagaikan tersayait hatinya. Sebaliknya harus dituntun, dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan.

TERHADAP FAKIR MISKIN
Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahawa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita peribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh kerana itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah yang senang, kerana mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak sendiri, namun itulah kudrat Tuhan.
TERHADAP BUKAN MUSLIM
Demikianlah sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun terhadap orang asing kerana mereka itu masih keturunan Nabi Adam A.S. Mengingat ayat 70 Surat Isro' yang artinya: "Sangat Kami muliakan keturunan Adam dan Kami sebarkan segala yang berada di darat dan di lautan, juga Kami mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainnya. Kesimpulan dari ayat ini bahawa kita sekalian seharusnya saling harga-menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat Surat Al-Maidah, yang artinya: "Hendaklah tolong-menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketaqwaan dengan sungguh-sungguh terhadap AGAMA maupun NEGARA, sebaliknya janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA."

Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat Surat Al-kafirun ayat 6: "AGAMA-MU UNTUK KAMU, AGAMUKU UNTUK AKU". Maksudnya janganlah terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga-menghargai, tetapi janganlah sekali-kali ikut campur. Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti: "Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna,". Kerana yang menyebabkan penderitaan diri peribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri. Dalam Surat An-Nahli ayat 112 diterangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat maupun kampung, desa maupun negara yang dahulunya aman dan tenteram, gemah ripah loh jenawi, namun penduduknya/penghuninya mengingkari nikmat-nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri.

 
TUJUAN
Oleh kerana demikian, hendaklah segenap murid-murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan dhohir-bathin, dunia maupun akhirat, supaya hati tenteram, jasad nyaman, jangan sekali-kali timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: "BUDI UTAMA - JASMANI SEMPURNA" (Cageur- bageur). Tiada lain amalan kita, THARIQAH QOODIRIYYAH NAQSYABANDIYYAH, amalkan sebaik-baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala kejahatan dhohir-bathin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syaitan.


Wasiat ini harus dilaksanakan dengan saksama oleh segenap murid-murid agar supaya mencapai keselamatan DUNIA dan AKHIRAT.
Amin .

PATAPAN SURYALAYA, 13 Februari 1956. Wasiat ini disampaikan kepada sekalian ikhwan.


t.t.
..................................................
(K.H. A. SHOHIBUL WAFA TAJUL 'ARIFIN )



UNTAIAN MUTIARA


JANGAN BENCI KEPADA ULAMA SEZAMAN
JANGAN MENYALAHKAN KEPADA PENGAJARAN ORANG LAIN
JANGAN MEMERIKSA MURID ORANG LAIN
JANGAN MENGUBAH SIKAP WALAUPUN DISAKITI ORANG
HARUS MENYAYANGI ORANG YANG MEMBENCI KEPADAMU

Syari'at, Thariqat, Haqiqat

Syari'at, Thariqat, Haqiqat
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.

Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan shalat.
Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.

Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).

Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah semata.
Syari'at
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.

Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.

Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.

Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa. Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya. Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.

Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf). Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.

Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.

Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.

Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.

Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.

Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.

Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.

Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.

Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan

Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.

Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.

Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala, thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.

Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".

Para penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari'at

Thariqat dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.

Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.

Siapa pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan menyesatkan.

Karena syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.

Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.

Hati para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.

Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.

Ma'rifatullah

Para ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.

Akan tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.

Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.

Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam keharuman".

Ketika seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.

Cara lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.

Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa".

Manaqib

Manaqib adalah suatu bentuk kegiatan khidmat amaliah dan ilmiah, dan sudah melembaga dan membudaya di tengah sebagian besar masyarakat Islam Indonesia. Terutama sekali di kalangan ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya. Kegiatan khidmat itu merupakan bagian pengamalan dan pengenjawantahan dari Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Pelaksanaannya secara rutin sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditentukan bertempat di majlis-majlis manakiban dan khotaman.
Manaqib itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari lafad “manqobah” yang berarti : kisah tentang kesolehan dan keutamaan ilmu dan amal seseorang.

Syaikh Abdul Qodir Jaelani pernah berkata : "Dimana saja dibacakan manaqib-ku aku hadir padanya". Oleh karena itu pada waktu pelaksanaannya para ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya harus hadir untuk mengikuti jalannya kegiatan tersebut.

Susunan acara manakiban sebagai berikut :
1. Pembukaan

2. Pembacaan ayat suci Al-Qur’an

3. Pembacaan Tanbih

4. Tawasul

5. Pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jaelani

6. Da’wah/Tabliqul Islam, Pondok Pesantren Suryalaya Perwakilan Tangerang

7. Pembacaan Sholawat Bani Hasyim 3 (tiga) kali

Demikianlah pelaksanaan manaqib, yang dapat menciptakan dan mewujudkan kondisi dinamis, serta tata nilai yang berharga, untuk itulah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dan terus menerus dikembangkan dan dilestrarikan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya

Kamis, 17 Maret 2011

TAQWA

Kunci untuk mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt. adalah taqwa. Taqwa yaitu menjalankan perintah Allah yang wajib dan yang sunat serta menjauhi larangan Allah berupa dosa besar dan dosa kecil. Tanyakan kepada diri sendiri, apakah kita sudah termasuk orang bertaqwa? Ciri-ciri orang yang bertaqwa adalah :
  1. Tawadhu; Rendah hati, memiliki sopan santun, seperti dalam Tanbih disebutkan terhadap yang lebih tinggi dari kita baik lahir maupun bathin, terhadap sesama, terhadap orang yang keadaannya lebih rendah dari kita dan memiliki sikap terhadap fakir miskin. Tawadhu terdiri dari dua. Yaitu tawadhu terhadap Allah seperti ketika akan melaksanakan shalat, gunakanlah pakaian yang sesuai. Dan tawadhu terhadap manusia, karena surga itu banyak dihuni oleh manusia yang bertaqwa dan yang berakhlak mulia.
  2. Qona’ah; Merasa cukup dengan pemberian Allah. Sebaliknya dari qona’ah adalah serakah. Orang yang serakah tidak peduli dengan halal haram asal kehidupannya penuh dengan materi meskipun harus mengorbankan harga diri sehingga hilang rasa kemanusiaannya.
  3. Wara’; Memiliki sikap hati-hati dalam niat atau tekad, sikap dan ucapan serta perbuatan. Jika tidak bersikap demikian banyak hal yang timbul seperti pertikaian meskipun dengan sesama muslim. Terutama dalam perbuatan, harus sangat berhati-hati. Karena jika perbuatan buruk kita yang melanggar peraturan agama dan negara kemudian ditiru oleh banyak orang maka dosa bagi kita akan berlipat, menjadi dosa muta-akhir, na’udzu billahi min dzaalik. Contohnya dalam berpakaian. Untuk wanita, pakaian yang digunakan harus bisa menutupi aurat. Jangan sampai datang ke Suryalaya memakai pakaian yang bisa menimbulkan nafsu birahi kaum laki-laki. Karena Patapan Suryalaya adalah tempat waliyullah jangan melakukan hal-hal yang tidak baik karena maksud tujuan kita datang ke Suryalaya adalah bersama Abah supaya bisa sampai kepada Allah melalui karomahnya, barokahnya serta wasilahnya sehingga kita bisa selamat di dunia dan di akhirat.
Selain itu, sebagai Ikhwan Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah harus bisa menjaga diri jangan sampai mendapatkan penilaian buruk dari orang lain. Seperti shalat harus dilaksanakan dengan tu’maninah. Kalau tidak demikian, maka orang lain akan menilai buruk terhadap kita. Kita bertasawuf, sedang melaksanakan tarekat tapi syari’atnya tidak dihiraukan. Jadilah Ikhwan yang dapat dijadikan contoh suri tauladan oleh yang lain baik secara lahiriah maupun batiniah. Dengan penuh keyakinan dan rasa cinta kepada Pangersa Abah, mari kita amalkan tarekat qodiriyah Naqsyabandiyah sehingga kita menjadi orang yang selamat di dunia, bahagia di akhirat, cageur bageur. Amin ya robbal ‘alamiin.
Oleh : Ustadz Kholil Sa’id

Bagaimana ciri-ciri orang bertaqwa itu ? Allah menerangkan bahwa diantara ciri-cirinya adalah :
  1. Mampu bersodaqoh di jalan Allah, baik diwaktu lapang ataupun sempit. Ini sebagaimana dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Saw sendiri tatkala datang yang ingin menikah, “Ya Rasulullah ! Saya akan melaksanakan anjuran sunnahmu yaitu menikah”, kata sang pemuda. Mendengar berita demikian Rasulpun sangat gembira. “Tetapi sampai hari inipun saya tidak mempunyai sebutir gandum pun untuk dimasak”, sang pemuda dengan nekat. Maka Rasul memanggil istrinya :”Ya Humairoh ! apakah kita mempunyai gandum?” istrinya menjawab : “Ada, untuk makan besok, kenapa ?”, “Berikan saja ! ini ada pemuda yang ingin menikah tetapi tidak mempunyai apa-apa”. Demikian contoh Rasul kepada kita. Sesuai dengan perintah Allah bahwa tidaklah dikatakan kebaikan kecuali mampu mensodaqohkan apa yang dia cintai.
  2. Mampu menahan marah tatkala datang kemarahan. Rasul Saw bersabda : “Tidaklah dikatakan yang gagah itu yang kuat jasadnya, tetapi seseorang dikatakan gagah itu apabila dia mampu menahan marahnya”. Diantara fungsi dzikir itu adalah agar kita mampu menahan amarah dikala marah.
  3. Mampu memaafkan (mengampuni) sesama manusia. Sebagaimana dalam TANBIH dikatakan : “Harus menyayangi orang yang membenci kita”, karena kalau kita bersikap keras, pasti akan lari setiap orang disekeliling kita. Dengan sikap pemaaf ini kita akan menjadi tenang dan tentram.


Apabila dia berbuat dholim atau aniaya, baik kepada orang lain atau dirinya, dia akan cepat-cepat meminta ampun kepada Allah SWT. Allah menganjurkan agar meminta tolong dengan kesabaran dan sholat. Hanya kepada Allah saja kita meminta ampun dan pertolongan. Sehingga apabila mendapatkan berbagai kesulitan dalam hidupnya, dia akan cepat-cepat kembali kepada Allah saja sebagai tempat bersandarnya.



Zikir yang tidak terputus.

Zikir yang saya maksud disini adalah zikir orang awam. Kalau dilihat dari makna kata zikir adalah ingat atau mengingat, maka zikirullah adalah mengingat Allah dalam konteks yang lebih dalam lagi. Atas dasar asumsi diatas maka zikir itu memungkinkan dikelompok dalam
dua kelompok besar yaitu zikir fikir dan zikir non fikir.

Zikir fikir adalah zikir ilmiawan (ulilalbab) dalam menguak rahasia alam ini untuk menga-gungkan ke-Esa-an Nya.

Zikir non fikir adalah beramal/ berbuat yang bermuara kepada meng Esa kan Allah. Inilah salah satu kelebihan ulilalbab (yang banyak didengungkan dalam Al-Qur'an) bahwa ulilalbab itu dapat melakukan kedua zikir tersebut secara bersamaan.

Zikir non-fikir dapat dikelompokkan  kedalam dua kelompok lagi yakni zikir-khusus dan zikir-umum.

Zikir khusus ini dilakukan dengan tatacara khusus, dengan asma Allah yang khusus ditempat khusus pada waktu yang khusus pula. Ini biasanya dilakoni oleh para kiyai, ulama, orang-orang yang tergerak untuk itu. Zikir khusus ini akan lebih afdhol lagi kalau dimunculkan dari hati nurani yang kudus, dilapadz dengan bibir yang suci dan direalisasikan melalui amal-perbuatan yang diridhoi Allah.

Zikir umum dilakukan tanpa ke khususan. Untuk hamba-Allah yang ngelakoni zikir khusus dapat melakukan zikir-umum. Maka pelaku zikir-khususpun memiliki keunggulan pula untuk memungkinkan melakukan dua zikir non-fikir sekaligus.
Zikir-umum ini adalah zikir yang timbul sewaktu hamba Allah melakukan suatu kegiatan yang dimulai dengan Nama-Allah. Zikir dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa kecuali dengan satu syarat yaitu muslim.

Bila dicermati sejak berangkat menuju peraduan sampai menuju peraduan malam berikutnya adalah zikir. Inilah yang maksud dengan ZIKIR YANG TIDAK TERPUTUS. Mudah-mudahan setuju akan pemikiran ini.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :

1.        Seluruh muslim ini tidak pernah terlepas dari zikir asal dia memulai sesuatu selalu ingat Allah dan atas nama Allah.
2.        Hamba-Allah yang paling beruntung adalah ulilalbab yang melakukan 3-zikir sekaligus.

Rabu, 16 Maret 2011

N K R I

Niat kepada Allah
Selalu terpasang mengawali dan mengawal setiap aktifitas ibadah yang dikerjakan,


“Yaa Tuhanku, hanya Engkaulah yang hamba tuju, ridloridlo—Mu yang hamba kehendaki,  karuniakanlah kepada hamba untuk mencintaiMu dan mengenal -Mu..”

Komitmen
Kepada Allah dan Rasul—Nya sebagai motivasi untuk selalu taat dan berpegang pada taliiAllah ( Laa Ilaaha Illallah ) dan mencintai rasul—Nya melebihiisegala yang ia milikimiliki..

Riyadloh –latihan
             
Yaitu latihan menundukkan dan mengendalikan nafsu dengan memperbanyak dzikrullah  untuk mengobati penyakit hati sehingga hati selalu terjaga hadir kepada Allah dan nafsu yang selalu mengajak pada keburukan selalu menghadap kepada hati yang terjaga dengan iman.

Istiqomah

Konsisten dalam menapaki jalan ketaatan sebagai kunci memperoleh berkah. ‘Istiqomah adalah derajat yang menjadikan urusan-urusan seseorang menjadi baik dan sempurna, dan memungkinkannya untuk mencapai manfaat secara tetap dan teratur ’ (SyekhAli Ad-Daqaq dalam Risalatul Qusyairiyah).